Tiny House Dalam Perspektif Budaya Indonesia
image source : blogspot.com
Jika anda memiliki tanah yang luas dan memiliki keinginan untuk membangun rumah, rumah seperti apa yang muncul dalam perencanaan anda? Rumah besar dan mewah? Atau membangun rumah kecil dengan taman yang luas?
Sebagian besar orang akan memilih untuk membangun rumah berukuran besar jika mereka memiliki tanah yang luas. Karena rumah yang besar bisa menaikkan status sosial ekonomi dan memberi kesan mewah terhadap pemiliknya. Namun, pemilik rumah besar banyak yang tidak menyadari bahwa semakin besar dan luas suatu rumah, biaya maintenance yang dikeluarkan juga semakin besar. Biaya listrik untuk penerangan di seluruh rumah setiap harinya, biaya perbaikan yang tidak sedikit jika ada bagian rumah yang rusak, biaya untuk mengecat rumah jika suatu hari warnanya sudah pudar atau pemilik ingin mengganti warna cat tembok rumahnya, selain itu membayar upah tenaga kerja (pembantu) untuk membersihkan dan merapikan rumah agar selalu bersih dan nyaman untuk ditinggali juga harus diperhatikan, dsb
Melalui gerakan rumah mungil atau yang lebih dikenal dengan tiny house movement, komunitas tiny house berharap jika ada orang yang memiliki tanah yang berukuran luas bahkan sangat luas sekalipun, hendaknya dibangun rumah berukuran kecil dan sisa tanahnya bisa digunakan untuk keperluan lainnya di masa depan.
Misalkan sepasang suami istri memiliki tanah yang luas, kemudian mereka memutuskan untuk membangun sebuah rumah kecil dan taman. Sisanya dibiarkan kosong untuk keperluan di masa depan. Jika nantinya pasangan tersebut memiliki anak lebih dari 1 dan anaknya kelak sudah berkeluarga, sisa tanah yang belum digunakan bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah kecil lainnya untuk anak – anak mereka yang sudah berkeluarga. Hal ini memiliki perspektif yang sama dengan pola cluster rumah tradisional madura yang dikenal dengan sebutan Tanèan Lanjhāng.
Bentuk layout Tanèan Lanjhāng.
(A = Rumah keluarga; B = Langgar / musholla; C = Pagar Alam; D = Ladang)
Sumber : Mudjadi (Ketua tim penyusun) 1997:h.183.
(A = Rumah keluarga; B = Langgar / musholla; C = Pagar Alam; D = Ladang)
Sumber : Mudjadi (Ketua tim penyusun) 1997:h.183.
Terbentuknya permukiman Tanèan Lanjhāng ini diawali dengan sebuah rumah induk yang disebut tonghuh, yaitu rumah orang tua. Apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sudah berumah tangga, khususnya anak perempuan, maka orang tua akan atau bahkan ada keharusan untuk membuatkan rumah bagi anak perempuan tepat di sebelah timur rumah orang tuanya. Tanèan yang dalam bahasa indonesia berarti pekarangan atau halaman rumah merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai tempat sosialisasi antar anggota keluarga, tempat bermain anak-anak, atau melakukan kegiatan sehari-hari. Kebanyakan orang yang memiliki tanah yang luas akan menerapkan pola pemukiman Tanèan Lanjhāng karena hal ini bisa memperkuat tali silaturahmi antar keluarga, dan anak – anak mereka tidak kesulitan untuk mencari rumah setelah berkeluarga.
Tanèan Lanjhāng tidak hanya bisa diterapkan di lingkungan keluarga saja, tapi juga bisa diterapkan di dalam komunitas tiny house. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk menerapkan tiny house movement adalah membentuk komunitas tiny house terlebih dahulu, barulah dalam komunitas tersebut bisa dilakukan urunan untuk membeli tanah yang nantinya akan dibangun beberapa rumah kecil menggunakan jasa arsitektur, bukan developer seperti perumahan pada umumnya. Hal tersebut memiliki keuntungan dibandingkan dengan membeli sebuah perumahan dari developer yaitu dari segi biaya perijinan, pecah sertifikat dan biaya pembangunan yang dilakukan secara bersama – sama akan jauh lebih murah.
Jadi, apakah anda tertarik untuk bergabung dengan komunitas rumah mungil?
Jadi, apakah anda tertarik untuk bergabung dengan komunitas rumah mungil?
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar kami akan segera membalas