Tiny House Movement, Bagaimana Aplikasinya di Indonesia?

Gerakan rumah mungil atau Gerakan rumah kecil (bahasa Inggris: Tiny house movement; Small house movement) merupakan gerakan sosial yang mempromosikan dan menganjurkan kepada masyarakat untuk mengecilkan ukuran rumah tinggal mereka dan hidup sederhana di rumah-rumah yang berukuran kecil. Masyarakat yang mengikuti gerakan ini memiliki berbagai alasan, di antara alasan yang populer adalah kepedulian terhadap lingkungan, pertimbangan finansial dan mencari lebih banyak waktu dan kebebasan.[1] Gerakan ini juga merupakan sebuah ekspresi dalam gaya arsitektur yang diwujudkan dalam sebuah rumah kecil yang berukuran kurang dari 55m².
Di Amerika Serikat, pada tahun 1997, seorang arsitek, penulis, dan pembicara publik, Sarah Susanka dianggap yang memulai dan memunculkan gagasan yang melawan arus pada masa itu dengan menerbitkan bukunya "The Not So Big House".[2]

Minat terhadap rumah berukuran kecil juga telah dibangkitkan di beberapa negara-negara lain: seperti di Jepang, di mana ruang sangat bernilai, Takaharu Tezuka telah membangun the House to Catch the Sky, sebuah rumah untuk empat orang penghuni seluas 925 kaki² (85,9 m²). Di Barcelona, Spanyol, Eva Prats dan Ricardo Flores membuat House in a Suitcase berukuran 300 kaki² (28 m²). Di Inggris, Abito menciptakan apartemen dengan ruang tinggal yang cerdas berukuran 353 kaki² (32,8 m²) di Manchester; juga Micro Compact House (MCH) adalah sebuah rumah kecil mutakhir yang dikembangkan oleh arsitek Inggris Richard Horton dan Technical University of Munich.[2] MCH adalah bangunan berbentuk kubus berukuran 76 kaki² (7,1 m²), yang dirancang untuk 1-2 penghuni, dan memiliki ruang untuk tidur, makan, beraktifitas, dapur, dan kamar mandi yang berfungsi sebagaimana mestinya.[4]
Di Indonesia, khususnya kota kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tanpa disadari rumah rumah mungil telah bertumbuh tanpa disadari. Kultur masyarakat Indonesia yang masih enggan menempati high rise building seperti apartment dan rumah susun, ditambah permainan harga yang dilakukan developer membuat harga rumah makin tidak terjangkau. Kemudahan sistem pembayaran via bank tidak selalu memudahkan dalam waktu beberapa tahun awal pinjaman, mengingat sebagian besar keuangan keluarga difokuskan kepada pembayaran bunga pinjaman. Hal ini memaksa banyak keluarga muda terjebak dalam rumah homogen berkualitas buruk yang tidak sesuai harapan selama bertahun tahun hanya untuk menyesuaikan limit kredit mereka.

Isu lain yang khas Indonesia, adalah isu agama yang merebak baru baru ini, menggeser paradigma pembelian rumah konvensional via bank (mortgage), dengan konsep syariah tanpa hutang. Isu yang sama juga mengajak masyarakat hidup bersahaja sesuai rejeki yang telah diberikan Tuhan. Disisi lain, generasi millenial saat ini sangat peduli dengan estetika, efektifitas, dan kenyamanan dalam rumah impiannya, demi memenuhi berbagai harapan ini terpakasa membangun sendiri rumah tanpa perencanaan seringkali berakibat mahalnya harga akhir yang harus dibayar dan hilangnya estetika.
Kami sebagai arsitek muda Indonesia yang concern dengan kondisi ini mendirikan komunitas Tiny House Indonesia dan mengajak komunitas arsitek, interior designer, kontraktor dan masyarakat umum untuk duduk bersama berbicara membicarakan berbagai masalah dalam proses menciptakan rumah yang sesuai dengan kondisi ini, serta menjadikan komunitas ini jembatan dalam menyelesaikan berbagai masalah design ruang dan lingkungan khususnya bagi mereka yang menginginkan custom housing dengan harga terjangkau di area urban dan sub-urban di Indonesia.

Komentar

Postingan Populer